Para penggugat berpose di ruang persidangan usai sidang pembacaan putusan di PTUN Semarang. |
Sidang perkara pilperades Desa Jatimulyo nomor 83/G/PTUN.SMG/2018, 84/G/PTUN.SMG/2018 dan 85/G/PTUN/2018 Desa Jatimulyo Kecamatan Bonang Kabupaten Demak tahun 2018 antara Shofwan Santiko dkk melawan Lurah Jatimulyo dalam hal ini Ahmad Zamroni akhirnya sampai kepada tahap putusan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang pada hari Rabu tanggal 16 Oktober 2018 adapun amar putusan Majelis Hakim yang di pimpin Irna, S. H., M. H ini adalah: Mengabulkan gugatan PARA PENGGUGAT untuk seluruhnya, menyatakan batal keputusan kepala desa Jatimmulyo, Memerintahkan TERGUGAT untuk mencabut keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, dan menghukum Tergugat untuk membayar beaya perkara yang timbul dari perkara ini.
Abdul Ghofur juru bicara para peserta Pilperades Desa Jatimulyo yang melakukan gugatan ini menyampaikan menyambut baik dan bersyukur kepada Allah Swt karena majelis hakim yang memeriksa perkara ini benar benar manjadi wakil Tuhan yang memberikan putusan yang semestinya diputuskan, ia menambahkan bahwa ia dan peserta yang lain melakukan gugatan itu bukan karena sakit hati karena tidak jadi perangkat desa. Sebaliknya karena ada banyak kejanggalan dan ketidak beresan dalam proses yang ada dan hari ini telah terbukti dengan ketok palu hakim.
Ahmad Zaini Advokat Publik LBH Demak Raya yang mendampingi para peserta menyampaikan ini bukan hanya kemenangan para penggugat atau kemenangan warga Jatimulyo semata akan akan tetapi kemenangan masyarakat Kabupaten Demak secara keseluruhan, karena kecurangan Pilperades di Kabupaten Demak berdasarkan fakta persidangan selama ini sudah masif dan kami menghimbau agar tergugat untuk menghormati putusan hakim dan tidak melakukan upaya hukum karena memang jelas dan nyata bahwa pelanggaran itu terjadi ujarnya.
Lebih lanjut Zaini menambahkan terkait dengan putusan ini upaya paksa yang bisa dikenakan bisa dibaca dalam Pasal 116 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pada dasarnya tergugat harus melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (BHT) secara sukarela. Jika dalam waktu 60 hari setelah putusan BHT, tergugat tak juga melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Jika tergugat membandel atau tidak mematuhi putusan ini, penggugat bisa minta Ketua Pengadilan untuk memerintahkan tergugat melaksanakan putusan. Jika masih tetap membandel, pejabat TUN bersangkutan dapat dikenakan pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Selanjutnya, ada pula upaya mengumumkan pejabat yang tak mematuhi putusan itu lewat media massa. Selain itu, Ketua Pengadilan bisa mengirimkan surat kepada Presiden untuk memerintahkan pejabat yang dihukum melaksanakan putusan pengadilan ujarnya ketika ditemui di Gedung PTUN Semarang.
Hal senada juga disampaikan oleh Abdul Rokhim yang juga Sekretaris LBH Demak Raya, sebelum ada revisi UU No. 5 Tahun 1986, eksekusi putusan Peradilan TUN lebih dipengaruhi asas self respect atau self obedience dan sistem floating execution. Artinya, kewenangan melaksanakan putusan sepenuhnya diserahkan kepada badan atau pejabat TUN yang berwenang tanpa ada kewenangan PTUN menjatuhkan sanksi. Setelah UU No. 5 Tahun 1986 direvisi, sifatnya berubah menjadi fixed execution, yakni eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan pengadilan melalui sarana-sarana pemaksa yang diatur dalam perundang-undangan, Publikasi putusan melalui media massa, misalnya, dapat mendorong kontrol sosial, ujar Advokat yang juga orang Kecamatan Bonang ini.
0 Komentar